ramat Raya, Pak?" tanya
saya setengah ragu. "Mari, Pak!" kata sopir taksi itu mengiyakan,
tanpa berpikir sejenakpun. Tentu saja saya gembira, karena tidak menyangka
lelaki itu bakal mau mengantar.
Saya segera naik ke jok belakang, menutup pintu. Taksi pun melaju. Sebentar kemudian berputar 180 derajat di perempatan Cempaka Putih. Sekarang melaju ke arah Senen.
"Kok Bapak mau ke Kramat? Kan jaraknya dekat aja, Pak?" tanya sayamemancing.
"Kita kan tidak pernah tahu ada apa di balik yang dekat itu, Pak," katanya sejenak kemudian. Senyumnya saya lihat di spion atas kepalanya. "Jika penumpang yang jarak dekat tidak diambil, rasanya seperti tidak menghargai Tuhan yang membagi rizki buat kita."
Berkata bijak ternyata bukan hanya monopoli kaum filosof. Tetapi juga bisa keluar dari mulut Firmansyah, begitu nama yang terpampang di dashboard, seorang sopir taksi bersahaja yang saya temui pagi ini.
Maka meluncurlah cerita "filosof" yang sopir taksi itu.
"Saya banyak mengalami, kadang memang rasanya gimana gitu ketika sudah lama ngantri, ternyata dapat penumpang yang dekat," katanya sembari menarik napas perlahan. "Dapat lagi, dekat lagi. Dapat lagi, dekat lagi."
Saya cuma tersenyum. Tentu saja saya bisa merasakan "duka" itu. Seperti kita mengharapkan durian runtuh, tetapi apa daya jika kenari yang ternyata melayang jatuh.
"Tetapi, tak jarang," imbuh lelaki itu, "saya dapat yang dekat-dekat, tetapi berkali-kali. Juga pernah sekalinya dapat yang jauh, tetapi setelah itu baliknya tidak membawa penumpang sama sekali."
Ia tersenyum di tengah klakson jembatan layang menuju Kemayoran.
Saya mengangguk-angguk.
"Yah, artinya lebih baik terima saja yang masuk ke taksi, entah jurusan dekat ataupun jauh," kata saya. "Karena kita tidak pernah tahu, setelah itu dapat rizki dalam bentuk apa lagi."
***
Beberapa hari berikutnya, saya menumpang taksi dari tempat dan dengan tujuan yang sama. Kali ini Bluebird, langganan saya.
"Kok Bapak mau mengantar penumpang dengan tujuan yang dekat seperti saya?" tanya saya memancing. Taksi sedang melaju ke arah Senen. Saya mencomot roti sarapan pagi dengan sekotak minuman dingin.
Ia tertawa.
"Jangankan Kramat Raya, Pak," katanya bersemangat, "bahkan saya pernah mengantar orang dari Cempaka Emas ke Ruko Cempaka Emas!"
"O, ya?" sergah saya heran. Jarak itu tak lebih dari selemparan lembing atau sebidikan panah. "Argo Bapak bahkan mungkin tidak sempat bergerak dari angka awal lima ribu perak, dong?"
"Yah, waktu itu sedang macet sih. Sempat nyampai enam ribu rupiah."
Saya mengangguk-angguk. Saya berandai-andai. Lima belas persen dari enam ribu tak lebih dari seribu rupiah. Itu yang dia dapat untuk mengantar penumpang sedekat itu, buah dari mengantri di pool mungkin setengah hari.
"Belum lagi ketika kembali ke pool, ternyata sudah penuh," katanya menerawang. "Harus berputar dulu tiga-empat kali untuk dapat antrian lagi."
"Wah, susah juga, ya Pak?" timpal saya. Sudah dapat yang sangat dekat, kembali ke pool antri di paling belakang lagi. Itu pun setelah muter lebih dulu.
"Ya. Bahkan saya pernah, sudah mengantri di belakang, diserobot teman lagi," katanya enteng, bahkan cenderung riang. "Saya sih pasrah saja. Tidak lama, teman saya mendapat penumpang dengan tujuan Patra Jasa. Sebentar kemudian, seorang penumpang mengetok pintu mobil saya. Cikarang, Pak? Tentu saja saya ambil karena jaraknya jauh, berlipat-lipat dibandingkan Patra Jasa."
Saya ikut tersenyum mendengar ceritanya. "Itu semua buah dari keikhlasan, Pak."
"Alhamdulillah, saya nggak pernah menolak penumpang sedekat apapun tujuan mereka. Saya yakin, Allah memberikan rizki saya dengan cara yang demikian. Kadang sedikit, kadang banyak. Saya tidak pilih-pilih."
Demikianlah Pak Endang, begitu namanya terpampang di dashboard, menyimpulkan. Sebuah kesimpulan sederhana yang tidak sesederhana maknanya.
***
Saya banyak belajar dari kedua orang itu, Pak Firmansyah dan Pak Endang; sopir-sopir taksi yang sederhana. Mereka masih "menghargai Tuhan", begitu bahasa mereka. Caranya sungguh sangat sederhana: mengantarkan penumpang yang naik taksi mereka, meski dekat sekalipun jaraknya. Menolak penumpang, sama saja dengan menolak rizki yang sudah Allah hidangkan dihadapan. Menolak penumpang, sama halnya tidak menghargai Sang Pembagi Rizki. Karenanya, tidak ada yang sepatutnya harus dilakukan, bagi mereka, kecuali ikhlas mengantar.
Terbukti dalam berbagai kesempatan mengantar penumpang yang dekat itu, ternyata sambung-menyambung dengan penumpang yang turun naik; begitu satu penumpang turun, ada yang langsung naik. Bahkan tak jarang, banyak penumpang jarak dekat yang memberikan "uang lebih" berkat kesediaan mereka mengantar tanpa mengeluh. Jumlahnya sering lebih banyak ketimbang persentase yang mereka terima dari mengantar penumpang jarak jauh. Jarak dekat, karenanya tidak lantas identik dengan rizki cekak.
Sungguh sebuah sikap hidup yang, kata orang Jawa, sumarah. Pasrah, tetapi bukan layaknya wayang. Dalam bahasa agama, barangkali inilah pengejawantahan sikap tawakal setelah berazam. Bukan sikap pasrah yang salah-kaprah; yang sering salah dipahami sebagai "pulung sugih pulung mlarat". Kalau Tuhan menakdirkan kita kaya, tanpa berusaha pun, kita akan kaya. Kalau ditakdir miskin, bekerja keras peras-keringat-banting-tulang sekalipun ibaratnya, tetap akan miskin.
Saya lantas teringat dengan sebuah hadits, bahwa Allah itu tergantung pada persangkaaan (dzon) hamba pada-Nya. Kedua lelaki di atas, dalam pandangan saya, telah memberikan persangkaan yang baik pada rencana Tuhan di balik penumpang yang dekat itu. Ketika sopir yang lain menyangka "rugi" ketika harus mengantar penumpang yang dekat, keduanya tidak pernah berprasangka demikian.
Boleh jadi keduanya tidak hapal dengan ayat Al-Qur'an tentang rizki yang min haitsu laa yahtasib. Tetapi saya yakin, keduanya, juga kita, paham bahwa rizki itu datangnya bisa tidak disangka-sangka. Tetapi sementara kedua sopir diatas sudah mempraktekkan pemahaman itu di kehidupan keseharian, kita sendiri barangkali masih berkutat pada tataran teori.
Jika Nabi Musa pernah belajar kepada Khidir, kita yang bukan siapa-siapa ini tak ada salahnya belajar pada orang-orang sederhana seperti kedua sopir taksi di atas. Benar juga sebuah tulisan yang saya baca terpampang di sebuah Sekolah Merdeka di tepi Ranu Klakah Lumajang, dan selalu terpatri dalam ingatan saya hingga kini: jika semua tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru. Dan Pak Firmansyah serta Pak Endang, adalah guru saya hari ini. Wa Allahu a'lamu bi ash-shawab. Bahtiar HS.
Saya segera naik ke jok belakang, menutup pintu. Taksi pun melaju. Sebentar kemudian berputar 180 derajat di perempatan Cempaka Putih. Sekarang melaju ke arah Senen.
"Kok Bapak mau ke Kramat? Kan jaraknya dekat aja, Pak?" tanya sayamemancing.
"Kita kan tidak pernah tahu ada apa di balik yang dekat itu, Pak," katanya sejenak kemudian. Senyumnya saya lihat di spion atas kepalanya. "Jika penumpang yang jarak dekat tidak diambil, rasanya seperti tidak menghargai Tuhan yang membagi rizki buat kita."
Berkata bijak ternyata bukan hanya monopoli kaum filosof. Tetapi juga bisa keluar dari mulut Firmansyah, begitu nama yang terpampang di dashboard, seorang sopir taksi bersahaja yang saya temui pagi ini.
Maka meluncurlah cerita "filosof" yang sopir taksi itu.
"Saya banyak mengalami, kadang memang rasanya gimana gitu ketika sudah lama ngantri, ternyata dapat penumpang yang dekat," katanya sembari menarik napas perlahan. "Dapat lagi, dekat lagi. Dapat lagi, dekat lagi."
Saya cuma tersenyum. Tentu saja saya bisa merasakan "duka" itu. Seperti kita mengharapkan durian runtuh, tetapi apa daya jika kenari yang ternyata melayang jatuh.
"Tetapi, tak jarang," imbuh lelaki itu, "saya dapat yang dekat-dekat, tetapi berkali-kali. Juga pernah sekalinya dapat yang jauh, tetapi setelah itu baliknya tidak membawa penumpang sama sekali."
Ia tersenyum di tengah klakson jembatan layang menuju Kemayoran.
Saya mengangguk-angguk.
"Yah, artinya lebih baik terima saja yang masuk ke taksi, entah jurusan dekat ataupun jauh," kata saya. "Karena kita tidak pernah tahu, setelah itu dapat rizki dalam bentuk apa lagi."
***
Beberapa hari berikutnya, saya menumpang taksi dari tempat dan dengan tujuan yang sama. Kali ini Bluebird, langganan saya.
"Kok Bapak mau mengantar penumpang dengan tujuan yang dekat seperti saya?" tanya saya memancing. Taksi sedang melaju ke arah Senen. Saya mencomot roti sarapan pagi dengan sekotak minuman dingin.
Ia tertawa.
"Jangankan Kramat Raya, Pak," katanya bersemangat, "bahkan saya pernah mengantar orang dari Cempaka Emas ke Ruko Cempaka Emas!"
"O, ya?" sergah saya heran. Jarak itu tak lebih dari selemparan lembing atau sebidikan panah. "Argo Bapak bahkan mungkin tidak sempat bergerak dari angka awal lima ribu perak, dong?"
"Yah, waktu itu sedang macet sih. Sempat nyampai enam ribu rupiah."
Saya mengangguk-angguk. Saya berandai-andai. Lima belas persen dari enam ribu tak lebih dari seribu rupiah. Itu yang dia dapat untuk mengantar penumpang sedekat itu, buah dari mengantri di pool mungkin setengah hari.
"Belum lagi ketika kembali ke pool, ternyata sudah penuh," katanya menerawang. "Harus berputar dulu tiga-empat kali untuk dapat antrian lagi."
"Wah, susah juga, ya Pak?" timpal saya. Sudah dapat yang sangat dekat, kembali ke pool antri di paling belakang lagi. Itu pun setelah muter lebih dulu.
"Ya. Bahkan saya pernah, sudah mengantri di belakang, diserobot teman lagi," katanya enteng, bahkan cenderung riang. "Saya sih pasrah saja. Tidak lama, teman saya mendapat penumpang dengan tujuan Patra Jasa. Sebentar kemudian, seorang penumpang mengetok pintu mobil saya. Cikarang, Pak? Tentu saja saya ambil karena jaraknya jauh, berlipat-lipat dibandingkan Patra Jasa."
Saya ikut tersenyum mendengar ceritanya. "Itu semua buah dari keikhlasan, Pak."
"Alhamdulillah, saya nggak pernah menolak penumpang sedekat apapun tujuan mereka. Saya yakin, Allah memberikan rizki saya dengan cara yang demikian. Kadang sedikit, kadang banyak. Saya tidak pilih-pilih."
Demikianlah Pak Endang, begitu namanya terpampang di dashboard, menyimpulkan. Sebuah kesimpulan sederhana yang tidak sesederhana maknanya.
***
Saya banyak belajar dari kedua orang itu, Pak Firmansyah dan Pak Endang; sopir-sopir taksi yang sederhana. Mereka masih "menghargai Tuhan", begitu bahasa mereka. Caranya sungguh sangat sederhana: mengantarkan penumpang yang naik taksi mereka, meski dekat sekalipun jaraknya. Menolak penumpang, sama saja dengan menolak rizki yang sudah Allah hidangkan dihadapan. Menolak penumpang, sama halnya tidak menghargai Sang Pembagi Rizki. Karenanya, tidak ada yang sepatutnya harus dilakukan, bagi mereka, kecuali ikhlas mengantar.
Terbukti dalam berbagai kesempatan mengantar penumpang yang dekat itu, ternyata sambung-menyambung dengan penumpang yang turun naik; begitu satu penumpang turun, ada yang langsung naik. Bahkan tak jarang, banyak penumpang jarak dekat yang memberikan "uang lebih" berkat kesediaan mereka mengantar tanpa mengeluh. Jumlahnya sering lebih banyak ketimbang persentase yang mereka terima dari mengantar penumpang jarak jauh. Jarak dekat, karenanya tidak lantas identik dengan rizki cekak.
Sungguh sebuah sikap hidup yang, kata orang Jawa, sumarah. Pasrah, tetapi bukan layaknya wayang. Dalam bahasa agama, barangkali inilah pengejawantahan sikap tawakal setelah berazam. Bukan sikap pasrah yang salah-kaprah; yang sering salah dipahami sebagai "pulung sugih pulung mlarat". Kalau Tuhan menakdirkan kita kaya, tanpa berusaha pun, kita akan kaya. Kalau ditakdir miskin, bekerja keras peras-keringat-banting-tulang sekalipun ibaratnya, tetap akan miskin.
Saya lantas teringat dengan sebuah hadits, bahwa Allah itu tergantung pada persangkaaan (dzon) hamba pada-Nya. Kedua lelaki di atas, dalam pandangan saya, telah memberikan persangkaan yang baik pada rencana Tuhan di balik penumpang yang dekat itu. Ketika sopir yang lain menyangka "rugi" ketika harus mengantar penumpang yang dekat, keduanya tidak pernah berprasangka demikian.
Boleh jadi keduanya tidak hapal dengan ayat Al-Qur'an tentang rizki yang min haitsu laa yahtasib. Tetapi saya yakin, keduanya, juga kita, paham bahwa rizki itu datangnya bisa tidak disangka-sangka. Tetapi sementara kedua sopir diatas sudah mempraktekkan pemahaman itu di kehidupan keseharian, kita sendiri barangkali masih berkutat pada tataran teori.
Jika Nabi Musa pernah belajar kepada Khidir, kita yang bukan siapa-siapa ini tak ada salahnya belajar pada orang-orang sederhana seperti kedua sopir taksi di atas. Benar juga sebuah tulisan yang saya baca terpampang di sebuah Sekolah Merdeka di tepi Ranu Klakah Lumajang, dan selalu terpatri dalam ingatan saya hingga kini: jika semua tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru. Dan Pak Firmansyah serta Pak Endang, adalah guru saya hari ini. Wa Allahu a'lamu bi ash-shawab. Bahtiar HS.
Sumber:www.facebook.com
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar