KEHIDUPAN ROSULULLAH SAW DENGAN KAISAR ROMAWI DAN RAJA PERSIA

Diposting oleh Unknown on Kamis, 17 Januari 2013

Sahabat Umar bin Khattab RA berkunjung ke rumah Rosulullah SAW ketika dia telah masuk ke dalamnya, dia tertegun melihat isi rumah beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk berwudhu. Keharuan muncul dalam hati Umar Ra. Tanpa disadari air matanya berlinang, maka kemudian Rosulullah saw menegurnya. “Gerangan apakah yang membuatmu menangis?” Umar pun menjawabnya, “bagaimana aku tidak menangis Ya Rosulullah? Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal di tangan Tuan telah tergenggam kunci dunia Timur dan dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah.” Lalu beliau menjawab “Wahai Umar aku ini adalah Rosul Allah, Aku bukan seorang Kaisar dari Romawi dan bukan pula seorang Kisra dari Persia. Mereka hanya mengejar duniawi, sedangkan aku mengutamakan ukhrawi.

Kata-kata Aku bukan Kaisar Romawi, Aku bukan Kisra Persia, tidak berarti R
osulullah tidak memiliki kesempatan, mengingat keterangan Umar bahwa di tangan Rosulullah-lah tergenggam kunci dunia Timur dan dunia Barat. Namun niat Rosulullah saw dalam kalimat terakhir itu merupakan kata paling berharga “Mereka hanya mengejar duniawi, sedangkan aku mengutamakan ukhrawi.” Apa yang diisyaratkan Rosulullah saw sangatlah jelas, bahwa tidak selamanya hidup dengan kemewahan dan gelimang harta adalah berkualitas, justru sebaliknya. Seringkali kehidupan semacam itu menjadikan hidup terasa kering dan sunyi, sombong dan akan lebih menjauhkan diri kita dari cinta dan kasih Allah. Kondisi seperti ini adalah seburuk buruk hati, bukankah Allah sangat membenci sesuatu yang serba berlebih lebihan? Ingatlah kesederhanaan adalah kemuliaan, apapun realitasnya, Rosullah SAW adalah teladan terbaik disemua manusia dengan jeda tingkatan yang jauh, ia diperuntukkan bagi mereka yang berserah dirinya kepada Allah SWT dengan ketentuan beserta iradah-Nya.

Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan hanya main-main dan sendagurau belaka dan sungguh kampung akhirat itu tebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” Di sini justru ada isyarat bahwa sikap ideal kaum bertaqwa adalah mengangap bahwa dunia hanyalah permasalahan remeh, sedang akhirat itu adalah yang terbaik bagi mereka.

Dalam QS. Al-Anfal : 67 Allah berfirman: “Kamu menginginkan kebendaan duniawi sementara Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu).” Dengan logika sederhana saja kita dapat menyimpulkan manakah yang lebih tinggi nilainya. Apakah kebahagiaan akhirat yang dikehendaki oleh Allah Sang Maha Mulia bagi yang selalu diimpikan oleh manusia yang banyak salah dan lupa. Tetulah apa yang dikehendaki Allah itu lebih mulia nilainya. Juga diayat lain Allah menerangkan hakikat dunia, yaitu firmannya dalam QS. Ali ‘Imran : 185 “Kehidupan dunia itu tiada lain hanyalah kesenangan yang menipu.” Ini adalah hakekat yang sebenarnya. Allah sendiri telah menyebutkan kecendrungan hamba-Nya ini dan sekaligus menegurnya dalam QS. Al Lail : 16-17 firman-Nya: “Tetapi kamu lebih mengutamakan kehidupan duniawi.

Padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” Jika Allah sendiri telah menyebutkan keutamaan akhirat dibanding dunia, maka pantaskah kita mensejajarkan keduanya tanpa memberikan perhatian lebih bagi yang lebih utama. Ayat mengenai hakikat keutamaan akhirat sangatlah banyak. Kadang Allah menyebutnya sebagai kehidupan yang sebenarnya, yang abadi, atau yang lebih baik dan lebih kekal.

Sementara dunia Allah sebut sebagai fitnah (ujian), perbekalan yang sedikit, kenikmatan yang menipu, atau hanya seperti permainan dan senda gurau. Semua ayat itu menjelaskan dengan lugas betapa mulianya urusan akhirat dan betapa kecilnya masalah dunia ini jika d bandingkan dengannya. Tentuny, sangat logis jika dikatakan bahwa dalam menyikapi dua hal yang berbeda harus ada perlakuan yang berbeda pula.

Sungguh tepat jika dalam memandang dua hal ini seseorang bersikap seimbang. Tentu seimbang artinya proporsional. Dan itu tak berarti harus selalu menyamakan segala hal. Justru seharusnya memberikan hak segala sesuatu itu secara tepat dan sesuai dengan kadar yang dibutuhkan. Jadi dalam hal ini bersikap seimbang, memukul rata tanpa memberi perhatian lebih kepada yang berhak mendapatkannya. Itu justru merupakan sikap tidak proporsional.

Pecinta Akhirat dan pemburunya seperti para Shahabat adalah contoh, mereka rutin berinfaq, dalam jumlah yang besar karena hasrat akhirat jelas membawa kerutinan dan usaha yang terbaik. Berbeda bila semuanya dihasratkan kedunia, maka yang ada semuanya full penuh hitungan, bila berhasil mendapat impiannya maka ia berhitung lalu menahan, bila gagal maka tidak jarang malah menghujat dan berhenti beramal, Naudzubillah min dzalik.

Sumber: http://www.facebook.com/pages/Yusuf-Mansur-Network/109056501839

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar